Apa
yang akan kaulakukan jika anakmu meminta izin untuk pergi malam-malam suntuk
untuk sekadar menginap di rumah temannya lalu ia tidak pulang lagi ke rumah dan
kau mendapati ia terkena musibah yang tidak di sangka-sangka olehmu sebelumnya.
Lalu hari itu akan menjadi hari terakhir kau menatap matanya, mendoakan yang
terbaik untuknya, mengkhawatirkannya untuk keterakir kali, menghabiskan waktu
berdua di depan televisi, atau hanya bercengkrama dengan segelas kopi untuk
membahas persoalan skor sepakbola sore tadi.
Marsiti
membuka mata, berkeringat—badannya panas dan tersentak ketika lagu Pesawat
Tempur tiba-tiba dinyanyikan Iwan Fals ke telepon genggamnya sebagai nada dering telepon dan
merisih telinganya sehingga Ia harus bangun dan mencari sinyal ke beranda rumah
dini hari.
Rumahnya
hanya memiliki sebuah
ruangan yang tidak bisa dikatakan besar. Ukurannya hanya sekitar 3x4 meter itu
pun sudah termasuk ruang
keluarga, sekaligus ruang tamu, ataupun ruang makan, juga terdapat
kamar mandi yang hanya terdapat
ember dan sebuah gayung tua yang terdapat sebuah lubang kecil di bagian
alasnya. Dinding
rumahnya berwarna hijau, seperti
sudah digerogoti lumut juga korban tancap paku untuk sekadar menancapkan pigura foto-foto lama: seorang ayah, ibu dan
anak laki-lakinya. Di rumahnya
tidak ada kipas angin, apalagi pendingin ruangan. Keluarga mereka biasa memakai
sobekan majalah atau buku untuk mengibas-ngibaskan udara sehingga mereka tidak
kepanasan. Bulan Juni jarang sekali ada hujan, kemarau
membuat udara
malam menjadi lebih panas
dari biasanya.
Subuh
itu, ketika udara sedang dingin, Ia rela tidur tanpa selimut dan mengalah; membiarkan suaminya yang memakainya. Ia
tahu bahwa tubuh suaminya lebih merasakan letih daripada tubuhnya karena letih bekerja menafkahi seorang anak dan
istrinya.
Suaminya, Samrani, dikenal sebagai orang yang bermoral dan taat agama. Setiap
hari Ia memakai peci, baju koko putih, sarung hijau, dan sendal bakiak serta
sorban putih yang selalu melingkari lehernya, mengenakan kacamata dan selalu
datang ke masjid sebelum adzan, juga bangun dini hari untuk salat Tahajud.
Ketika Ia pergi ke warung pun, tasbih selalu digerakkan oleh tangannya sambil
bibirnya tak usai-usainya berdzikir. Suaminya biasa pulang malam sekali karena
harus menyusur kota juga gang-gang
sempit dan gelap dengan gerobaknya untuk berjualan sekoteng.
Setelah berada di beranda,
Maryati
menatap layar teleponnya, dilihatnya baik-baik sambil perlahan mendekat agar Ia
tahu siapa yang meneleponnya dini hari. Sontak terkaget Ia
waktu tahu yang menelepon dirinya adalah anaknya, Waryo, menelepon dirinya subuh-subuh sekali.
Bahkan
di hari-hari biasa, Waryo jarang sekali menelepon ibunya, meskipun ada itu
hanya sekadar telepon salah tekan saja. Untuk membayar rasa penasarannya, diangkatlah telepon
itu dengan terburu-buru.
“Ya Nak?”
“Apa benar ini dari pihak
keluarga korban?” Ucap seorang laki-laki, suaranya begitu
bergetar dan pastilah tidak butuh berapa lama, Maryati langsung menyadari bahwa
yang meneleponnya ini adalah polisi.Ibu tidak perlu bertanya banyak, segera datang ke Rumah Sakit kota sekarang juga. Anak ibu mengalami musibah.”
Maryati
seperti tidak percaya, terdiam dia beberapa saat. Lalu tanpa banyak basa-basi, Maryati berlari masuk ke dalam
rumah dan menghentak pintu sangat kencang membuat dinding belakang pintu
sedikit mengelupas.
“Pak! Bapak!” Maryati berteriak sangat kencang
sambil menepuk pundak suaminya dengan sangat keras berulang-ulang kali, membangunkan penghuni rumah. Bukan hanya itu namun tetangga yang jaraknya
ada di ujung gang pun
ikut terbangun juga. Lalu, orang-orang mulai membuka pintu rumah mereka, ada
juga yang sekadar membuka gerai jendela setengah terbuka untuk mengintip.
Orang-orang yang mulai penasaran kemudian mulai mendatangi satu per satu arah
suara tersebut. Ketika itu pula adzan Subuh berdengung, laki-laki yang berniat
datang ke masjid sontak berhenti, mengubah haluan arah jalan mereka menuju
rumah Maryati. Saking banyaknya suara hentak kaki, maka kegaduhan menyelimuti
malam yang sunyi. Bahkan orang-orang komplek di seberang jalan juga ikut
berhambur-hambur mendatangi sumber suara itu.
Samrani, suaminya, perlahan membuka
mata, duduklah Ia di pinggir kasur, dikocek kantung matanya—ia baru saja terbangun dari mimpinya setelah pulang dari pekerjaannya. Untuk menambah penghasilan
keluarga, istrinya mengadu nasib di depan televisi. Setiap hari ia duduk di
sofa berjam-jam, mencari-cari berita tentang lowongan pekerjaan, iklan, dan
acara televisi yang berisi kuis sejumlah pertanyaan yang biasanya menyebutkan
password dan apabila benar dijawabnya soal-soal yang demikian banyak itu, maka
uang sekitar dua juta masuk ke dompetnya. Tapi, semua orang tentu tahu, hal itu
mustahil terjadi. Ia sudah menghabiskan sekitar lima ratus ribu pulsa dengan
harapan bahwa jika pulsanya habis karena menelepon acara yang satu, ia masih
bisa menelepon acara yang lain. Ia begitu mengadu nasib dan ponsel miliknya itu
seperti sudah menjelma Tuhannya. Bahkan acara yang ditontonnya itu menyediakan
soal-soal yang bahkan orang gila pun bisa menjawabnya—tapi tetap saja, tidak
ada satupun teleponnya yang tersambung.
“Kau
tahu tidak Samrani?” Mata Maryati mulai menetes airmata, hidungnya mulai
mengeluarkan lendir, sambil menutup bibirnya dengan kedua tangan, Maryati
melanjutkan pembicaraannya.
“Ada
apa? Kau terlihat menangis.” Samrani yang baru bangun heran bukan kepalang,
baru kali ini Ia lihat istrinya menangis seperti itu.
“Anak
kita telah.. tertimpa... musibah malam... tadi!” ucapnya pelan-pelan sambil
terus bersedih. Bibirnya menggamit dan tangannya kaku, ia seakan tidak percaya,
bahwa anaknya yang terakhir kali ia lihat sore tadi, sekarang telah tertimpa
musibah. Ia ingat betul ketika anaknya itu meminta uang dengan sopan,diciumnya
tangan ibunya serta keningnya dengan doa setiap siang dan malamnya. Ia tahu
betul, Waryo, adalah anak yang baik, tidak pernah sekalipun ia melihat kepulan
asap di bibirnya dan mencium bau puntung rokok hinggap di bajunya ketika ia
mencuci baju di kolam masjid bersama tetangga yang lain. Namun, begitu kabar
itu datang mendadak dan tiba-tiba begitu cepatnya, ia tidak menyangka anaknya
akan berjalan ke arah sebaliknya yang ia harapkan.
Tetangga
yang terbangun tadi sudah berbondong-bondong berada di beranda rumahnya;
berkumpul di gang sempit yang minim cahaya. Lantas bertanya-tanya dalam benak
mereka: “Apa yang sedang terjadi?”
Ketika
orang-orang saling bertanya tentang suara tadi, dari belakang tiba-tiba muncul
Danarto, seorang ketua RT yang juga ikut terbangun. Danarto mengetuk jendela
rumah mengucap salam. Dari balik pintu langsung terlihat Maryati dan suaminya
berjalan sambil menundukkan kepala. Kemudian Samrani memperbolehkan Danarto
duduk dan masuk ke dalam. Samrani lalu bercerita singkat tentang anaknya dan
dengan cepat Danarto mengambil kunci mobil miliknya kemudian mereka
bertiga--juga beberapa tetangga yang lain ikut menuju rumah sakit.
Begitu
sampai, mereka langsung menuju unit gawat darurat. Namun ketika mereka masuk,
seorang polisi, yang menelepon Maryati, dengan pistol yang ia sembunyikan di
tas kecil sebelah kiri pinggangnya menahan mereka agar tidak masuk ke dalam dan
agar mereka menunggu di luar ruangan. Mereka duduk. Di sana, tidak ada satu
orang pun yang berbicara, mereka berdoa dan terus berdoa sambil berharap Waryo
baik-baik saja.
Kemudian
Danarto ingat bahwa mereka belum salat subuh, karena terburu-buru. Ia pun
membujuk agar mereka menuju masjid terdekat untuk berdoa agar operasi Waryo
berjalan lancar meskipun matahari sudah seperempat naik ke langit.
“Tidak.
Aku akan menunggu di sini.” Samrani menolak. “Aku akan berjaga-jaga bila anakku
sadar, silakan kalian pergi duluan saja. Aku akan tetap di sini.” Samrani
menunggu sambil duduk, bibirnya mengucap nama Tuhannya berulang-ulang kali, di
hatinya ia mendoakan yang terbaik untuk anaknya.
Danarto, istrinya, dan para tetangga
lain telah kembali dari masjid. Namun,
pintu ruangan tetap dikunci, ingin mengintip pun tidak bisa karena seluruh
jendela ditutupi oleh gorden hijau yang tebal. Setelah menunggu berjam-jam,
akhirnya terbukalah pintu yang mereka tunggu-tunggu itu. Mereka pun berjalan
masuk ke dalam.
Mereka
masuk ruangan dan mendapati seorang dokter sedang berdiri di pinggir anaknya.
Selang infus menghubungkan tangannya dengan kantung darah, kepalanya ditutupi
kain perban melilit dan berwarna merah banyak sekali, mukanya terluka dan lebam
di salah satu pipinya, kakinya menggantung ke atas sebelah dengan gips yang
telah dipasang. Samrani dan Maryati menangis kembali, miris, karena tidak tahan
melihat kondisi anaknya yang tidak memungkinkan untuk membuka mata lagi. Bahkan
di pinggir kasur, ada sebuah layar detak jantung yang melemah. Kurva hijau naik
turun perlahan.
“Kejadiannya
di warung pertigaan jalan dekat pos polisi Pak, kebetulan saya sedang beli kopi
di situ. Saat motornya melaju kencang ia melihat lubang di depan dan sontak
membanting setir, motornya berguling beberapa kali dan kamera tersembunyi
merekam jelas dari awal sampai ia sudah tergeletak di jalan tidak berdaya.
Kemudian darah mengalir dan saya langsung merogoh ponsel di sakunya dan
menelepon anda.” polisi memang memiliki suara yang keras, tegas dan berwibawa.
Namun, ketika tadi ia berbicara dan menjelaskan kronologis peristiwa, suaranya
betul-betul pelan seperti sedang meminta maaf, tidak dibuat-buat, mengatakan
dalam hati bahwa hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menyelematkan nyawa
anaknya. Semua yang ada di ruangan menangis, bahkan Marsiti pingsan, terkulai dan
rubuh ke lantai. Dokter membawanya ke ruangan lain. Dokter dan para tetangga ke
luar ruangan diikuti oleh polisi. Tinggalah Danarto dan Samrani dalam ruangan.
“Sudah Pak, ikhlaskan saja, buang
sendu itu jauh-jauh. Bisa saja Tuhan sedang menguji kita dengan cobaannya yang
berat agar Anda lebih tabah. Bukankah setiap cobaan yang diberikan harus kita
terima dengan kelapangan dada?” Danarto berbisik, mencairkan suasana.
“Tapi, bukankah aku tidak pernah
meninggalkan sembahyang, rela bangun pagi-pagi hanya untuk meminta kepada-Nya?
Bahkan tidak pernah sekalipun nama-Nya hilang dari kepalaku, tapi apa yang
diberikan oleh-Nya sekarang ini benar-benar tidak adil!” Samrani memukul meja.
“Tenang Pak, tenang.” polisi
menenangkan.
“Tidak akan habis-habisnya masalah
jika Anda hanya mengeluh Pak, semua yang telah terjadi, biarkan itu berlalu
dengan sendiri. Semua yang telah terjadi, mungkin itulah yang terbaik.”
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba
ada yang masuk ke ruangan. Ia bukan polisi, dokter, para tetangga, apalagi staf
rumah sakit. Ia seorang laki-laki yang memakai pakaian anak muda: jaket jeans belel, lusuh dan robek-robek serta
memakai kaos polos hitam. Dengan sedih Ia menjelaskan kata-kata terakhir ketika
Waryo pergi. Mungkin ia temannya atau barangkali sahabatnya.
“Dari sekian orang di dunia ini,
hanya bapakku yang paling aku cintai.” lelaki itu meniru persis apa yang diucap
Waryo.
“Sekali lagi, keluargaku bukan orang
kaya, hutang-hutangnya sangat banyak. Meski begitu keluarga kami bukan orang
terpidana, mereka mencari uang bukan mencuri, mereka mendapatkan uang dari
pekerjaan yang halal, menyusur sekoteng ke
rumah-rumah waktu malam hari. Keluarga kami tidak pernah mengambil hak orang
lain apalagi korupsi, tidak pernah minum minuman keras, tidak pernah berjudi,
bahkan untuk berbohong pun keluarga kami enggan melakukannya. Tapi besok hari,
sudah jelas bahwa penagih hutang akan mengetuk pintu rumah kami dengan senjata
dan bahkan mereka bisa saja menyewa beberapa orang ‘bayaran’ demi keamanannya.
Bukan hanya pintu saja, mereka bahkan bisa memecah jendela keluarga kami dengan melempar batu,
atau membidik antara bola mata kami dengan senapan jarak jauh,” “mereka
menderita karena terlalu baik, itu, hanya itu yang bisa aku simpulkan sekarang.
Ketika aku lihat televisi, wakil-wakil rakyat sedang memakan uang kami, dan
mereka lolos dari jeruji. Itulah negeri kami, begitu lucunya hidup. Ini sudah puncak dari masalah hidupku! Tidak
ada lagi yang bisa aku kerjakan selain berdiam diri!” lanjutnya.
“Selamat tinggal,” lelaki itu
tersenyum, menirukan Waryo. Ketika itu, laki-laki itu benar-benar mirip dengan
anaknya, persis sangat mirip, mendadak wajah lelaki itu berubah dan saat
Samrani mengedip dan menyeka air mata, lelaki itu menghilang.
(Cianjur,
2017)
Catatan
Kaki
Anomali: ketidaknormalan.
Sekoteng: minuman yang terbuat dari
gula, jahe, tangkue, dan sebagainya untuk penghangat badan.
Komentar
Posting Komentar